Pemerintah diharapkan untuk memperhitungkan pemanfaatan data-data spasial sebelum mengambil sebuah kebijakan, selain perlunya dipersiapkan perangkat peraturan yang secara khusus mengatur sistem informasi spasial di Indonesia.

Harapan itu antara lain disampaikan anggota Komisi VI DPR-RI Cecep Rukmana , mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti dan Dekan Fakultas Geografi UGM Dr Hartono, dalam Forum Geoinformasi, Pemetaan dan Riset Geomatika, yang digelar oleh Bakosurtanal, di Jakarta, Rabu (7/12). Acara ini diberi tema "Investasi dan Riset Berkualitas dengan Data Spasial Berkualitas".

Cecep Rukmana menyayangkan, sejauh ini banyak masalah muncul berkait dengan kebijakan yang tidak mempertimbangkan data spasial. Sebagai contoh mengenai data beras yang menjadi acuan untuk mengimpor beras, ternyata hanya menggunakan sampling. Sehingga tidak diketahui keakuratannya.

Data spasial sendiri, lanjut Cecep, belum menjadi informasi yang dapat menjadi komoditi akibatnya hanya sedikit orang yang menggunakannya. “Hendaknya di masa mendatang pemerintah gunakan data spasial untuk mendukung keluarnya sebuah kebijakan,” begitu Cecep.

Dorodjatun sebelumnya menyebut bahwa tidak dimanfaatkannya data spasial berdampak jelas dalam berbagai hasil pembangunan yang merugikan, misalnya banyak bangunan yang dibangun pada tempat yang tidak cocok, lokasi lahan tidak memperhitungkan kondisi tanah, sehingga tak heran jika muncul berita perubahan mewah kebanjiran atau bangunan amblas karena longsor.

Namun begitu, ia menyadari bahwa data spasial di Indonesia memang belum sepenuhnya memadai. Ia menceritakan pengalaman yang kesulitan untuk mencari peta daerah yang jauh dari pulau Jawa dalam ukuran satu berbanding tiga ribu (1:3.000), kebanyakan sekitar 1:25.000 atau 1:50.000. Akibatnya banyak perusahaan saat ini yang mencari lahan bukan berdasarkan data spasial tetapi berdasarkan perhitungan pasar, misal yang harganya murah atau yang dekat pelabuhan, kata Dorodjatun.

Sementara itu Dr Hartono mengatakan, dewasa ini Indonesia ditantang untuk menjamin ketersediaan basisdata dan sistem informasi data spasial nasional (darat dan laut) terpadu serta peningkatan kualitasnya.

Dikatakan, Indonesia belum memiliki kualitas data spasial memadai yang dapat diakses di semua sektor sehingga belum semua perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan pada cakupan wilayah nasional, regional maupun lokal yang berdasarkan informasi dari data spasial.

Kualitas data ada beberapa level, lanjut Hartono, secara umum sudah terbilang baik tetapi untuk peningkatan data tematik masih banyak kendala. Lebih lagi, kesadaran setiap pihak untuk menggunakannya pun masih terbilang tidak begitu tinggi.

Dia kemudian mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ada antara lain belum adanya tukar menukar informasi data dan metadata spasial untuk menghindari tumpang tindih pengadaan data, format data spasial yang acap kali berbeda pada instansi penyedia data dan pengguna data, dan ketersediaan data base dalam sistem informasi spasial nasional yang belum memadai.

Hartono juga menyinggung perlunya Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Pengelolaan dan Pengembangan Basisdata dan Sistem Informasi Spasial Nasional. UU ini, kata dia, dianggap mendesak, terutama ketika menyangkut batas wilayah nasional dan internasional yang rawan sengketa, sehingga dapat disajikan dengan sebaik-baiknya agar dapat meminimalkan potensi konflik.